Senin, 03 Agustus 2009

KHZ. Musthafa Sukamanah

KH. Zainal Musthofa dilahirkan pada Tahun 1901 di Kampong Bager Desa Cimerah Kecamatan/Kewedanaan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya (sekarang Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame Kabupaten Tasikmalaya). Ibunya bernama Ratmah dan ayahnya bernama Nawapi. Beliau diasuh dan di besarkan dalam keluarga petani yang taat beragama.
Zainal Musthofa pada masa kecilnya belajar di Sekolah Rakyat (SR) kemudian di lanjutkan di beberapa pondok pesantren Gunung Pari yang terletak di Desa Sukarame.
Dibawah asuhan Dimyati yang kemudian dikenal dengan KH. Zainal Musthofa. Selanjutnya beliau menimba ilmu pesantren di Cilenga Leuwisari dan Pesantren Sukamiskin Bandung.
Meskipun masa kecil beliau di tengah masa kecemasan penjajahan belanda. Tetapi semangat Ruhul Jihad yang di tanamkan oleh KH. Zainal Muhsin telah tertancap dalam jiwanya
Pada tahun 1927 KH. Zainal Musthofa mendirikan pesantren di kampung cikembang dengan nama pesantren sukamanah yang kemudian nama kampong tersebut berubah sesuai dengan nama pesantren yang beliau dirikan diatas tanah wakaf untuk rumah dan mesjid dari seorang janda dermawan yang bernama Hj. Jueriah. Sebelumnya pada tahun 1922 di Kampung Bageur telah berdiri pesantren yang didirikan oleh KH. Zainal Muhsin (kakak sepuh KH. Zainal Musthofa) yaitu pesantren sukahideng diatas tanah yang berstatus sama dari orang yang sama.
Bahkan pada tahun 1928 KH. Zainal Musthofa dan KH. Zainal Muhsin menunaikan ibadah haji atas biaya sang dermawan.
Sebagai seorang ulama yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan serta sifat toat, tabah qonaat dan syaja’ah yang dimilikinya KH. Zainal Musthofa menjadi pimpinan dan berpandangan luas ke depan, pada tahun 1933 beliau masuk jamaah Ni dan diangkat sebaai wakin Rois Syuriah NU cabang Tasikmalaya. Sikap beliau sangat membenci terhadap penjajah ditanamkan kepada santri-santrinya di pesantren. Sikap itu kadang beliau sampaikan di depan umum sehingga sering mendapat peringatan bahkan beliau tak jarang di turunkan dari mimbar oleh kaki tangan penjajah.
Pada tanggal 17 November 1941 (27 Syawal 1362 H) KH. Zainal Musthofa dan KH. Ruhiyat (Pimpinan pondok pesantren cipasung) di tangkap dan di penjarakan di penjara Tasikmalaya, sehari kemudian mereka di pindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung. Dan pada tanggal 10 Januari 1942 mereka dibebaskan.
Tetapi pada akhir februari 1942 KH. Zainal Musthofa kembali ditangkap dan dimasukan kepenjara Ciamis. Pada waktu belanda menyerah kepada Jepang KH. Zainal Musthofa masih mendekam di penjara. Dan pada akhir mei 1942 beliau di bebaskan oleh seorang colonel jepang.
Meski kekuasaan telah berpindah dari colonial Belanda ke tentara jepang, t api sikap dan penentangan KH. Zainal Musthofa terhadap penjajah baru tidak berubah sama sekali, bahkan kebenciannya itu semakin memuncak setelah meyakinkan senidi kedzaliman hamba-hamba tenahaika ini. Setiap hari beribu-ribu rakyat Indonesia di jadikan romusa, penjual padi keada pemerintah secara paksa, pemerkosaan terhadap gadis-gadis merajalela, segala partai, ormas dan organisasi nasional di larang dan setiap pagi rakyat Indonesia di wajibkan ruku ke arah Tokyo.
Hal tersebut sudah cukup membuat beliau membulatkan tekad menentang dan menyatakan berontak terhadap penajajah jepang, untuk itu, beliau selalu menanamkan semangat jihad fisabillilah kepada para santri – santrinya yang saat itu berjumlah 600-700 orang. Diantara murid beliau saat itu adalah KH. Wahab Muhsin (Alm) sesepuh pondok pesantren sukahideung yang merupakan kakak kandung KH. Muhamad Fuad Muhsin (Sesepuh Pondok Pesantren Sukamanah) dan KH. Muhamad Syihabudin Muhsin (Pimpinan pondok pesantren Sukahideung).
Setelah pemerintah jepang mengetahui maksud KH. Zainal Musthofa, maka pada tanggal 24 februari 1994 mereka mengirim satu regu pasukan bersenjata untuk menangkap beliau dan para santrinya, tetapi mereka gagal bahkan mereka menjadi pahlawan pihak sukamanah, keesokan harinya, jum’at 24 februari 1944 semua tawanan dibebaskan hanya senjata mereka tetap menjadi rampasan. Kira – kira pukul 13.00 datang empat orang kompetal dan dengan congkaknya meminta agar senjata mereka dikembalikan dan KH. Zainal Musthofa agar menyerah. Rakyat yang tokoh rela mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai menjawabnya dengan pekikan “TAKBIR” dan langsung menyerang mereka, maka mereka pun lari dengan gugupnya, tiga orang kompetai dan satu juru bahasanya lari ke sawah dan seorang lagi selamat.
Menjelang ashar datang puluhan truk militer siap tempur yang ternyata mereka adalah bangsa sendiri dan langsung mereka membuka salvo serta menghujani barisan santri yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bamboo dan senjata sederhana lainnua dan jarak jauh, melihat yang datang adalah bangsa sendiri, maka KH. Zainal Musthofa mengeluarkan perintah agar tidak melakukan perlawanan sebelum musuh memasuji jarak perkelahian, setelah mereka mendekat, barulah bambu runcing dan golok menjawab serangan tersebut, akhirnya, dengan kekuatan yang begitu besar, lengkap dan penuh strategi pasukan jepang berhasil menerobos dan memporakporandakan pertahanan pasukan Sukamanah dan menangkap KH. Zainal Musthofa.
Dari data yang di dapat para syuhada yang gugur pada waktu itu 86 orang dan di kebumikan dalam satu lubang. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Jum’at tanggal 25 februari 1944 M bertepatan dengan tanggal 1 Robiul Awal 1365 H. dari hari itulah kemudia di kenal dengan sebutan “SUKAMANAH BERSIMBAH DARAH”. Selanjutnya KH. Zainal Musthofa di tahan di penjara Tasikmalaya kemudian di pindahkan ke Bandung dan seterusnya tidak di ketahui.
Pada tahun 1950 pesantren sukamanah yang tinggal puing-puing dikelola dan di pimpin oleh KH. Muhammad Fuad Muhsin sampai sekarang. Pada tahun 1956 kedua pimpinan pesantren sepakat untuk mendirikan madrasah Ibtidaiyah (MI) Sukahideng, dan pada tahun 1958 mendirikan sekolah Menengah Pertama (SMP) al-Ishlah. Setelah berbentuk perguruan KH. Zainal Musthofa. MI dan SMP tersebut berganti nama menjadi MI dan SMP KH. Zainal Musthofa begitu pula dengan SMA dan PGAnya.
Pada tahun 1970 kepada Erevele Belanda Ancol Jakarta memberitahukan bahwa KH. Zainal Musthofa telah menjalani hukuman mati pada tanggal 25 oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.
Beberapa bentuk yang diberikan pemerintah atas jasa-jasa Almarhum diantaranya :
1. Nama KH. Zainal Musthofa diabadikan menjadi jalan protocol utama Tasikmalaya
2. Penggunaan gelar “PAHLAWAN NASIONAL” kepada almarhum dengan SK, presiden Republik Indonesia No. 064/TK tahun 1972 tanggal 22 November 1972.
3. Pemindahan kerangka jenazah almarhum beserta 17 orang pengikutnya pada tanggal 25 agustus 1972 ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah.
4. Sejak tahun 1974 setiap tanggal 25 februari diselenggarakan peringatan perjuangan KH. Zainal Musthofa dengan tidak melupakan peringatan 1 Robiul Awal.
5. Memberikan santunan kepada Almarhum
6. Memberikan bantuan kepada lembaga – lembaga pendidikan formal dan non formal yang ada dilingkungannya yayasan KH. Zainal Musthofa Sukamanah
7. Dibangunnya monument aktualisasi perjuangan KH. Zainal Musthofa Sukamanah di bunderan by pass Tasikmalaya yang diresmikan pada tanggal 16 November 2000/11 Sya’ban 1421 oleh Gubernur Jawa Barat.
Jauh sebelum pemerintah memberikan penghargaan Pahlawan Nasional kepada KH. Zainal Musthofa Sukamanah, seorang santri almarhum bernama Syarif Hidayat yang telah bebas dari tahanan jepang di Sukamiskin melanjutkan sekolah ke AMN Malang dan berhasil menyandang gelar Letnan Satu, kemudian bersama-sama rekannya terutama Alm KH. Wahab Muhsins sebagai pelestarian perjuangan KH. Zainal Musthofa.Yayasan KH. Zainal Musthofa dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1959 dengan akta notaries 10 tahun 1988 yang pada saat ini mengelola pendidikan formal meliputi : MI, SLTP, MTsN, PGAN (Sekarang MAN) dan non formal meliputi Ponpes Sukamanah dibawah pimpinan KH Muhamad Fuad Muhsin dan Ponpes Sukahideung di bawah pimpinan KH. Muhammad Syihabudin Muhsin dengan jumlah santri dari kedua pesantren 2500 orang. Sedang lembaga formal lainnya meliputi Majlis ta’lim, madrasah Diniyah, TKA, TPA serta lembaga pelayanan masyarakat yang meliputi kopontren dan poskestren.

Minggu, 02 Agustus 2009

Nyanyian dengan menggunakan ayat-ayat suci Al-Quran

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya pada tanggal 27 Shafar 1404 H, yang bertepatan dengan tanggal 3 Desemiber 1983 M, di Jakarta setelah :

Menimbang :

  1. Bahwa pada dasamya agama Islam dapat menerima semua karya seni yang tidak bertentangan dengan ajaran dan hukum Islam;
  2. Bahwa berda'wah juga dapat dilakukan melalui media seni;
  3. Bahwa pada akhir-akhir ini telah tumbuh group musik yang membawakan lagu yang syairnya diambil dari terjemahan ayat-ayat suci A1-Qur~an;
  4. Bahwa agar kesucian dan kehormatan serta keagungan AI-Quran tetap terpelihara dipandang perlu Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hal tersebut.

Memperhatikan :

  1. AI-Qur'an surat Yasin : 69
    "Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur'an itu tidak lain ada/ah pelajaran dan k/tab yang memberi penerangan."
  2. Hadits riwayat Tabrani dan Baihaqi :
    "Bacalah Al-Qur 'an dengan gaya bahasa orang-orang Arab. Dan janganlah dengan gaya bahasa orang Yahudi dan orang Nasrani dan orang-orang yang fasik. Sesungguhnya akan datang sesudahku orang-orang yang melagukan Al- Qur'an semacam lagu nyanyian. Iagu pen yembahan patung, dan lagu berteriak-teriak. Apa yang mereka baca tidak melalui ten ggorokan mereka. yakni tidak sampai ke hati. Hati mereka terkena fitnah dan juga terkena fitnah hati orang-orang yang membanggakan keadaan mereka."
  3. Dan bacalah A'-Qur'an itu dengan tertib (sesuai dengan tajwid).

Mendengar :

Pendapat dan Saran-saran anggota Komisi Fatwa dalam rapatnya tanggal tersebut diatas.

Memutuskan :

MEMFATWAKAN

  1. Melagukan ayat-ayat suci Al-Qur'an harus mengikuti ketentuan ilmu tajwid.
  2. Boleh menyayikan/melagukan terjemahan A1-Qur'an, karena terjemahan A1-Qur'an tidak temasuk hukum A1-Qur'an.

SEJARAH BASYARNAS



Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.

Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.

Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.

Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam.

Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.

Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan belum diatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi :
‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.

Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.

Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.